Minggu, 09 November 2014

Memburu Jejak Kuliner Masa Lalu

SETELAH  menikmati perjalanan kereta, ada petualangan menarik menyusuri jejak kuliner masa lalu. Kami memulai  petualangan dari sate maranggi. Sesampainya di Stasiun Cianjur, rasa lapar menusuk perut. Kami tak sabar menyantap makanan khas setempat. Dari lima orang yang kami tanya, paling banyak menyebut sate maranggi.

Kami menemukan Warung Sate Maranggi Ma Nunung, Jalan Hasyim Ashari, sekitar 15 menit dari stasiun menggunakan angkutan kota warna merah. Kedai ini disebut-sebut paling terkenal di Cianjur.

Tak sabar ingin membuktikan, ternyata sate di kedai ini terasa empuk. Dagingnya has dalam. Sebelum dibakar, daging direndam dalam adonan bumbu berupa ketumbar, gula merah, dan kecap. Rasa satenya mirip seperti rasa dendeng, tetapi dagingnya empuk tak berlemak.

Ada pilihan pendamping makan sate maranggi, nasi uduk kuning dan ketan bakar. Sambal oncom sebagai pendamping sate ini tak kalah nendang. Warung ini buka setiap hari pukul 07.00-23.00. Kedai ini tak berubah meski sudah berdiri sejak 1980-an.

Selain sate maranggi, ada juga makanan lawas yang kini mulai langka di Cianjur, yaitu taoge dan taoco atau disingkat dengan geco. Di Cianjur, konon hanya tersisa satu penjual yang terdapat di Jalan Siti Jenab bernama Pak Iding. Geco mirip dengan taoge goreng di Bogor. Bedanya, dari bumbu taoconya dan campuran mi khas Cianjur berwarna kuning gelap.

Taoco Cap Meong buatan Nyonya Tasma di Jalan Gunung Lanjung Kilometer 5, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (30/9/2014).
Dari geco ini kami memulai petualangan menelusuri asal muasal taoco Cianjur. Taoco Cianjur memiliki cerita sejarah panjang. Adapun produsen taoco paling terkenal adalah taoco Cap Meong yang dikembangkan keluarga Tan Ken Yan sejak tahun 1880 hingga kini.

Taoco Cianjur adalah bumbu makanan yang terbuat dari biji kedelai (Glycine max) yang telah direbus, dihaluskan, dan difermentasi berbulan-bulan. Bau taoco Cap Meong terkenal wangi, rasanya khas gurih campur masam. Resepnya dan proses produksinya, ujar Stefani (23), generasi keempat, masih terjaga asli sejak zaman dulu.

Peralatan yang digunakan untuk membuat taoco sebagian sudah berusia puluhan tahun, salah satunya gentong tempat proses fermentasi. Cara masak kedelai pun tetap menggunakan kayu bakar. Taoco Cap Meong dijual dalam kemasan botol ukuran 350 miligram seharga Rp 20.000 dan kemasan 250 miligram seharga Rp 15.000. Taoco ini dapat bertahan lebih dari seminggu tergantung cara penyimpanan. ”Lebih baik diletakkan dalam kulkas,” kata Stefani.

Tidak hanya itu, Cianjur memiliki pabrik roti legendaris Tan Keng Cu. Pabrik ini didirikan keluarga Tan Keng Cu sejak tahun 1926. Bertahun-tahun pabrik itu ikut berkontribusi terhadap perekonomian warga setempat. Pemilik pabrik menjalin kerja sama dengan warga lewat sistem bagi hasil penjualan.

Mereka berjualan di pabrik di sepanjang Jalan HOS Cokroaminoto. Tak ada risiko rugi bagi warga yang menjual roti Tan Keng Cu. Sebab, jika tidak laku, roti dikembalikan ke pabrik.

Selain enak, roti buatan keluarga Tan dikenal murah. Ada berbagai macam roti yang dijual mulai dari harga Rp 2.500 hingga Rp 5.000 per bungkus.

Usaha roti yang kini diteruskan generasi kedua bernama Mulyana Suwarna (73) juga mengalami pasang surut. Produksi roti terhenti dari tahun 1959 hingga 1961 karena pemerintah menghentikan impor terigu. ”Pada 1962 kami mulai memproduksi lagi setelah pemerintah kembali impor terigu,” ujarnya.

Berangkat dari tradisi membuat roti, dari keluarga Tan lahir koki kelas dunia bernama Handi Mulyana. Handi dikenal ahli membuat kue pesanan selebritas dunia. Handi juga mengajar membuat kue di sejumlah sekolah. ”Anak saya sering mengajar kelas membuat roti di Singapura, tetapi tidurnya di Cianjur,” kata Mulyana. (Andy Riza Hidayat/Prasetyo EKo P)

Bersumber dari : travel.kompas

Rabu, 01 Oktober 2014

Nasi Bakar Dan Wedang Jeruk Londo



Nasi goreng adalah jenis kuliner yang mudah ditemukan di Yogyakarta. Bahkan disetiap sudut jalan, atau ditengah kampung dan dusun, bisa ditemukan warung nasi goreng. Biasanya, penjual nasi goreng sekaligus menjual bakmi. Menunya: nasi goreng, bakmi goreng, bakmi godog, magelangan dan sejenisnya.

Ini ada kuliner nasi yang ditawarkan, tetapi bukan nasi goreng, melainkan nasi bakar. ‘Nasi Bakar Wirobrajan’ begitulah nama warungnya. Berada di tepi jalan di kampung Wirobrajan dan gampang sekali diakses. Tinggal memarkir kendaraan di tepi jalan, orang bisa segera masuk di ‘Warung Nasi Bakar’



Pilihan menunya menarik, ada nasi bakar tuna ekstra pedas. Dan memang rasanya pedas, meski pedasnya tidak terlalu menyengat, tetapi terasa sekali. Beberapa pilihan nasi bakar bisa diambil dan minuman yang ditawarkan ada yang khas, yakni wedang jeruk londo. Minuman ini merupakan perpaduan antara jeruk, jahe, teh dan beberapa rempah hangat dan menyegarkan. Satu gelas harganya Rp 5000,-. Nasi goreng bakar tuna ekstra pedas, harganya Rp 10.000. tidak mahal dan enak.

Kuliner Tembi, berulangkali melewati ‘Warung Bakar Wirobrajan’ ini, tetapi belum sempat untuk mampir. Jum’at malam (11/5) lalu mencoba mampir dan memesan nasi bakar tuna ekstra pedas dan wedang jeruk londo.

Nasinya ditaruh di kuali kecil. Dibawah nasi diberi alas daun pisang, sehingga ketika dibakar nasinya tidak lengket dikuali. Sebagian dari daun pisang yang dipakai alas gosong karena dibakar. Kuali dan nasi yang dibakar itulah yang disajikan pada temu yang memesan. Jadi, tidak menggunakan piring. Makanya, dinamakan ‘Nasi bakar kuali’. Jika pilihannya tuna, maka di atas nasi bakar kuali dikasih ikan tunah yang sudah ditumbuk halus.

Nasi bakar kuali ikan tuna ekstra pedas memang terasa pedasanya, namun tidak sangat pedas. Meski ada kata ‘esktra’ pedasnya cukup untuk orang dewasa. Nasinya sudah dibentuk bulatan, dan pas diletakkan ditengah kuali kecil. Porsinya bisa disebut cukup dan membuat orang bisa menambah satu porsi lagi.

Warung nasi bakar Wirobjaran ini sudah 6 tahun yang lalu membuka warungnya. Artinya memang sudah cukup lama. Pada malam hari, jika membutuhkan jenis nasi yang bukan goreng dan juga buka nasi rames, tersedia nasi bakar. Karena nasi bakar, makanya tak ada minyak melekat pada nasinya. Jadi, betul-betul nasi putih yang diliwet dan sudah dicampuri bawang, cabe dan bumbu lainnya, untuk kemudian dibakar dengan kuali kecil.

Masih dalam kondisi panas, termasuk kuali kecilnya, oleh pelayannya segera disajikan pada pembeli, dan bila tidak mengerti jika kuali itu panas, tersenggol sedikit akan merasakan panas kuali dibakar. Atau, begitu disajikan segera dipegang, maka akan terasa ‘nyas..’ pada tangan.

Sebenarnya, untuk melengkapi lauk dari nasi bakar, meski sudah ada ikan tuna pada nasi bakar, bisa memesan tahu/tempe bakar/kremes, atau juga ayam bakar atau ayam goreng. Sebab, ikan tuna pada nasi bakar hanya sedikit, untuk kuliner tembi terasa kurang lauknya.



Wedang jeruk londo melengkapi sajian dari nasi bakar kuali ikan tuna esktra pedas. Agaknya, nama-nama khas sekaligus aneh, termasuk nasi bakarnya, yang barangkali sengaja untuk menarik orang untuk mencicipinya.

Di Yogya, memang mulai banyak ditemukan warung makan yang menawarkan menu eksotisme. Nasi bakar Wirobrakan salah satunya. Makan Yuk!.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Sabtu, 06 September 2014

Mie Sarang Emprit, Enaknya Awet di Lidah

Sajiannya dikesankan bak sarang burung emprit
Dulu, ketika kita kecil, atau setidaknya saat remaja, barangkali sering mencari susuh (sarang) emprit. Pada susuh emprit, akan ditemukan beberapa butir telur burung emprit, yang biasanya, selain ‘ditelan mentah’, bisa dikukus dengan cara diletakkan di atas nasi yang sedang dalam proses dimasak. Emprit adalah burung sawah, ukurannya kurang lebih sebesar burung gereja.

Kini susuh emprit itu bisa dimakan, juga empritnya. Susuh emprit yang boleh dimakan itu bernama ‘Mie Sarang Emprit’, racikan asli ‘Waroeng Dhahar Pulo Segaran’, kompleks Tembi Rumah Budaya, Jl Parangtritis Km 8,5, Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.

mienya diambil dari bahan bihun, dan dimasak sebagaimana umumnya mie jawa. Setelah dimasak, mie dibentuk menyerupai sarang. Nah, di atas mie jawa itu diletakkan 3 ekor burung emprit yang sudah digoreng dan 3 ekor telor puyuh. Sajian inilah yang dinamakan ‘Mie Sarang Emprit’.

Secara lengkap, Kuliner Mie Sarang Emprit diolah dari komponen sebagai berikut: 3 ekor burung emprit, bihun, telur, minyak, bawang putih, miri, daun bawang, sledri, kol, 3 butir telor puyuh, kecap manis, saos tiram, mrica dan disertai lalapan yaitu tomat, kemangi, mentimun.

Dengan ramuan bumbu tersebut warna mie menjadi kecoklatan laiknya daun-daun kering. Sesuai nama kulinernya, maka di atas mie susuh itu diletakkan 3 burung emprit matang, yang seolah sedang sedang angrem alias mengerami telornya. Di samping burung emprit itu ada tiga butir telor puyuh yang sudah matang dan siap untuk dimakan.

Teman yang pas di kala menyantap Mie Sarang Emprit:
Es Lumut Mélangi

Salah satu pasangan yang afdol untuk menemani ‘Mie Sarang Emprit’, adalah ‘Es Lumut Mélangi Tembi’. Minuman ini dibuat dari komposisi sirup coco pandan, susu, es, camcao, jeruk nipis, cendol tiga warna, nangka dan air. ‘Mie Sarang Emprit’ dan ‘Es Lumut Mélangi Tembi’ merupakan menu promo selama bulan November 2012 di Waroeng Dhahar Pulo Segaran, kompleks Tembi Rumah Budaya. Jadi, selama bulan November, jika Anda mengunjungi Waroeng Dhahar akan menemukan menu tersebut.

Tentu, di rumah makan di Tembi, atau yang dinamakan sebagai Waroeng Dhahar, tersedia beberapa jenis menu lainnya antara lain; brongkos koyor, mie amongraga, mie Jawa, sup nila, ayam goreng, tongseng banyak (angsa) dan beberapa jenis menu lainnya. Minuman yang tersedia, antara lain teh poci, secang, dan kopi Tembi.

Mie sarang emprit memiliki rasa khas dari mie jawa. Rasa gurihnya kental. Rasa manis berbaur dengan gurih bisa ditemukan pada burung emprit dan telor puyuh. Karena, sebelum digoreng, kedua bahan itu dibacem lebih dulu. Maka, memang rasa enak susuh ini terasa awet di lidah.

Dengan lincah dan cepat, tak sampai 5 menit,
juru masak Waroeng Dhahar Tembi Rumah Budaya
menyiapkan Mie Sarang Emprit
Bersumber dari : Rumah Budaya Tembi

Selasa, 19 Agustus 2014

Kwetiau Pontianak Memberi Rasa Berbeda

Ada banyak Jenis kuliner kwetiau di Yogya memang tidak terlalu susah dicari. Tidak hanya di restoran China kuliner ini mudah didapat, tapi juga di warung tenda. Ini ada satu warung, atau restoran yang menyajikan kuliner kwetiau dan jenis kuliner lainnya, yang diolah secara agak lain, setidaknya berbeda variasi. Restorannya dikenal dengan nama "Kwetiau Pontianak", terletak di Jalan Prof Herman Yohanes 1125, Yogyakarta.

Pilihan kulinernya bermacam, ada kwetiau goreng, kwetiau siram, kwetiau bun, nasi goreng, ayam goreng, udang goreng dan sejumlah kuliner lainnya. Minumannya juga bermacam-macam. Tapi tidak tersedia jus. Ada es sari kacang ijo, jeruk nipis dan beberapa jenis minuman lannya.

Kuliner Tembi pada Minggu malam 18 Agustus 2013 mengunjungi warung ‘Kwetiau Pontianak’ dan memesan kwtiau sapi goreng, bukan kwetiau seafood. Kwetiaw siram. Minumnya, yang terasa enak adalah jeruk nipis panas.


Jadi, kwetiau Pontianak ini sama sekali tidak meninggalkan sayuran, tetapi tidak pakai kol seperti bakmi Jawa. Karena memilih kwetiau sapi, maka ada daging sapi dalam kuliner ini. Tentu, ada telor dan baksonya yang sudah diiris-iris tipis. Mungkin karena ala Pontianak, kwetiaunya disajikan secara berbeda.

Selain kwetiau sapi, tersedia juga kwetiau seafood. Pada kwetiau disebut kedua, perbedaannya hanya pada udang dan cumi-cumi yang disertakan, sayurnya sama. Ada juga irisan bakso. Hal yang sama juga kita temukan pada kwetiau siram. Pada kuliner kwetiu ini, ada kuah yang menyertai, tetapi berbeda dengan kwetiau kuah. Mungkin, kalau dalam bakmi Jawa disebut sebagai bakmi nyemek.

Menikmati kwetiau Pontianak, kita akan menemukan rasa berbeda dengan kwetiau lain, yang biasa ditemukan pada restoran China, atau warung tenda lainnya. Pada kwetiau Pontianak, dengan daging sapi atau seafood, kita akan mendapatkan rasa, yang memadukan antara tauge, sayur hijau, dan bumbu bawang putihnya tidak terasa menyengat. Seolah kita seperti ‘diajak’ menikmati selera rasa yang ‘belum dikenali’.

Bumbu lokal Pontianak, agaknya mempengaruhi, sehingga memberi rasa berbeda. Pada kali pertama mengunyah, kita akan membayangkan rasa yang, sepertinya ‘belum dikenali’. Pada kunyahan berikutnya kita seperti tidak ingin berhenti makan, bahkan tidak ingin segera menghabiskannya.

Dengan kata lain, pelan-pelan menikmati kwetiau Pontianak sambil mengenali rasa yang lain dan membuat ingin kembali pada hari lain, untuk lebih mengenali lagi. Setidaknya dari segi sajian kwetiau-nya sudah berbeda.

Di Yogya, memang ada banyak restoran atau ruang makan yang menyediakan kuliner kwetiau, tetapi kwetiu Pontianak ini memberikan rasa yang agak berbeda.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Selasa, 05 Agustus 2014

Perang Kera dan Raksasa di Pasutan Bantul

Anoman keluar dari gubuk yang dibakar raksasa

Dikeroyok para raksasa, Anoman jatuh tergeletak. Dalam keadaan tidak berdaya, ia digotong dengan tandu, dan disorongkan ke dalam gubuk jerami. Para raksasa segera membakar gubuk tersebut. Api mulai menjilati jerami. Tiba-tiba gubuk rubuh, dan Anoman meloncat keluar. Tenaga sang kera putih seperti kembali berlipat ganda. Dihajarnya para raksasa yang sontak jatuh terjengkang.


Begitulah adegan menjelang penutup pementasan Reog Kubro di Lapangan Pasutan, Bantul, 31 Juli 2014. Gerak tari kera (wanara) dan raksasa (buto) menjadi tontonan utama, terutama saat perkelahian di antara mereka. Lakon yang dibawakan memang berdasarkan kisah Ramayana, yang mengambil adegan pertempuran antara pasukan kera dan raksasa. Pada pementasan kali ini ada 26 orang pemain yang terlibat, dibagi 13 pemeran kera dan 13 pemeran raksasa, ditambah 4 orang punakawan. Di antara para raksasa, terlihat Buto Terong, raksasa berhidung besar yang terkenal itu.
Sebanyak 26 pemain Reog Kubro menari di Lapangan Pasutan
Pementasan dimulai dengan gerak tarian masing-masing pemain. Gerakannya sederhana dalam tempo lambat. Diiringi musik yang repetitif, pengulangan nada yang monoton namun bisa menyebabkan ekstase, setidaknya menciptakan atmosfir mistis. Dominasi perkusi yang tidak melodius terus menyentak.
Dinamika terasa saat ada “perkelahian bebas”, bukan stilisasi laga bertempo lamban. Misalnya, raksasa yang berlari kencang lantas melayangkan tendangan ke dada lawan. Begitu pula sebaliknya, pola tendangan kawan si kera yang meloncat ke arah dada si raksasa. Adegan atraktif lainnya adalah ketika para kera menaiki punggung para raksasa, yang sayangnya hanya berdurasi singkat. Adegan ini bisa lebih menarik jika digarap lebih jauh. Kelincahan kera sebenarnya modal pertunjukan yang menarik, seperti ketika beberapa kera melakukan salto dari depan ke belakang, atau salto ke samping, yang sayangnya juga sebentar.
Para kera melompat dan menaiki punggung para raksasa

Pementasan ini dilakukan dua kali, masing-masing dengan durasi sekitar setengah jam lebih, disela jeda lebih dari satu jam. Saat matahari nyaris rubuh ke barat pengadeganan telah selesai namun pementasan masih terus berlangsung, karena satu demi satu pemain mulai ‘ndadi’ (kesurupan). Dimulai dengan adegan pemain tergeletak lemas lantas dibantu berdiri dan mulai menari dengan gaya estetik yang lebih bebas. Dengan pandangan kosong mereka memakan kembang dua rupa. Ini pertunjukan lain yang juga ditunggu-tunggu penonton, yang biasanya membuat merinding. Para pawang cukup berpeluh saat memulihkan para pemain satu per satu, dimulai dengan menekuk jatuh si pemain sehingga tidak bisa bergerak lantas dipegang dahinya untuk disadarkan.
Pementasan ini diselenggarakan setiap bulan Syawal. Reog Kubro, sebagaimana dijelaskan dalam blog-nya, berdiri pada tahun 1998. Namun baru pada tahun 2004 mereka merancang tarian baru, Reog Wanara Kubro, tarian kera dan raksasa yang terus dibawakan hingga kini.
Pasukan raksasa dan kera berlarian, siap bertempur
Pemain Reog Kubro adalah warga Pasutan, demikian pula penyelenggaranya adalah Persatuan Pemuda Pasutan (Pendapa). Pada tahun 2007, Reog Kubro menjadi salah satu penerima penghargaan Seni dan Budaya dari Pemerintah Kabupaten Bantul.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya