Selasa, 19 Agustus 2014

Kwetiau Pontianak Memberi Rasa Berbeda

Ada banyak Jenis kuliner kwetiau di Yogya memang tidak terlalu susah dicari. Tidak hanya di restoran China kuliner ini mudah didapat, tapi juga di warung tenda. Ini ada satu warung, atau restoran yang menyajikan kuliner kwetiau dan jenis kuliner lainnya, yang diolah secara agak lain, setidaknya berbeda variasi. Restorannya dikenal dengan nama "Kwetiau Pontianak", terletak di Jalan Prof Herman Yohanes 1125, Yogyakarta.

Pilihan kulinernya bermacam, ada kwetiau goreng, kwetiau siram, kwetiau bun, nasi goreng, ayam goreng, udang goreng dan sejumlah kuliner lainnya. Minumannya juga bermacam-macam. Tapi tidak tersedia jus. Ada es sari kacang ijo, jeruk nipis dan beberapa jenis minuman lannya.

Kuliner Tembi pada Minggu malam 18 Agustus 2013 mengunjungi warung ‘Kwetiau Pontianak’ dan memesan kwtiau sapi goreng, bukan kwetiau seafood. Kwetiaw siram. Minumnya, yang terasa enak adalah jeruk nipis panas.


Jadi, kwetiau Pontianak ini sama sekali tidak meninggalkan sayuran, tetapi tidak pakai kol seperti bakmi Jawa. Karena memilih kwetiau sapi, maka ada daging sapi dalam kuliner ini. Tentu, ada telor dan baksonya yang sudah diiris-iris tipis. Mungkin karena ala Pontianak, kwetiaunya disajikan secara berbeda.

Selain kwetiau sapi, tersedia juga kwetiau seafood. Pada kwetiau disebut kedua, perbedaannya hanya pada udang dan cumi-cumi yang disertakan, sayurnya sama. Ada juga irisan bakso. Hal yang sama juga kita temukan pada kwetiau siram. Pada kuliner kwetiu ini, ada kuah yang menyertai, tetapi berbeda dengan kwetiau kuah. Mungkin, kalau dalam bakmi Jawa disebut sebagai bakmi nyemek.

Menikmati kwetiau Pontianak, kita akan menemukan rasa berbeda dengan kwetiau lain, yang biasa ditemukan pada restoran China, atau warung tenda lainnya. Pada kwetiau Pontianak, dengan daging sapi atau seafood, kita akan mendapatkan rasa, yang memadukan antara tauge, sayur hijau, dan bumbu bawang putihnya tidak terasa menyengat. Seolah kita seperti ‘diajak’ menikmati selera rasa yang ‘belum dikenali’.

Bumbu lokal Pontianak, agaknya mempengaruhi, sehingga memberi rasa berbeda. Pada kali pertama mengunyah, kita akan membayangkan rasa yang, sepertinya ‘belum dikenali’. Pada kunyahan berikutnya kita seperti tidak ingin berhenti makan, bahkan tidak ingin segera menghabiskannya.

Dengan kata lain, pelan-pelan menikmati kwetiau Pontianak sambil mengenali rasa yang lain dan membuat ingin kembali pada hari lain, untuk lebih mengenali lagi. Setidaknya dari segi sajian kwetiau-nya sudah berbeda.

Di Yogya, memang ada banyak restoran atau ruang makan yang menyediakan kuliner kwetiau, tetapi kwetiu Pontianak ini memberikan rasa yang agak berbeda.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Selasa, 05 Agustus 2014

Perang Kera dan Raksasa di Pasutan Bantul

Anoman keluar dari gubuk yang dibakar raksasa

Dikeroyok para raksasa, Anoman jatuh tergeletak. Dalam keadaan tidak berdaya, ia digotong dengan tandu, dan disorongkan ke dalam gubuk jerami. Para raksasa segera membakar gubuk tersebut. Api mulai menjilati jerami. Tiba-tiba gubuk rubuh, dan Anoman meloncat keluar. Tenaga sang kera putih seperti kembali berlipat ganda. Dihajarnya para raksasa yang sontak jatuh terjengkang.


Begitulah adegan menjelang penutup pementasan Reog Kubro di Lapangan Pasutan, Bantul, 31 Juli 2014. Gerak tari kera (wanara) dan raksasa (buto) menjadi tontonan utama, terutama saat perkelahian di antara mereka. Lakon yang dibawakan memang berdasarkan kisah Ramayana, yang mengambil adegan pertempuran antara pasukan kera dan raksasa. Pada pementasan kali ini ada 26 orang pemain yang terlibat, dibagi 13 pemeran kera dan 13 pemeran raksasa, ditambah 4 orang punakawan. Di antara para raksasa, terlihat Buto Terong, raksasa berhidung besar yang terkenal itu.
Sebanyak 26 pemain Reog Kubro menari di Lapangan Pasutan
Pementasan dimulai dengan gerak tarian masing-masing pemain. Gerakannya sederhana dalam tempo lambat. Diiringi musik yang repetitif, pengulangan nada yang monoton namun bisa menyebabkan ekstase, setidaknya menciptakan atmosfir mistis. Dominasi perkusi yang tidak melodius terus menyentak.
Dinamika terasa saat ada “perkelahian bebas”, bukan stilisasi laga bertempo lamban. Misalnya, raksasa yang berlari kencang lantas melayangkan tendangan ke dada lawan. Begitu pula sebaliknya, pola tendangan kawan si kera yang meloncat ke arah dada si raksasa. Adegan atraktif lainnya adalah ketika para kera menaiki punggung para raksasa, yang sayangnya hanya berdurasi singkat. Adegan ini bisa lebih menarik jika digarap lebih jauh. Kelincahan kera sebenarnya modal pertunjukan yang menarik, seperti ketika beberapa kera melakukan salto dari depan ke belakang, atau salto ke samping, yang sayangnya juga sebentar.
Para kera melompat dan menaiki punggung para raksasa

Pementasan ini dilakukan dua kali, masing-masing dengan durasi sekitar setengah jam lebih, disela jeda lebih dari satu jam. Saat matahari nyaris rubuh ke barat pengadeganan telah selesai namun pementasan masih terus berlangsung, karena satu demi satu pemain mulai ‘ndadi’ (kesurupan). Dimulai dengan adegan pemain tergeletak lemas lantas dibantu berdiri dan mulai menari dengan gaya estetik yang lebih bebas. Dengan pandangan kosong mereka memakan kembang dua rupa. Ini pertunjukan lain yang juga ditunggu-tunggu penonton, yang biasanya membuat merinding. Para pawang cukup berpeluh saat memulihkan para pemain satu per satu, dimulai dengan menekuk jatuh si pemain sehingga tidak bisa bergerak lantas dipegang dahinya untuk disadarkan.
Pementasan ini diselenggarakan setiap bulan Syawal. Reog Kubro, sebagaimana dijelaskan dalam blog-nya, berdiri pada tahun 1998. Namun baru pada tahun 2004 mereka merancang tarian baru, Reog Wanara Kubro, tarian kera dan raksasa yang terus dibawakan hingga kini.
Pasukan raksasa dan kera berlarian, siap bertempur
Pemain Reog Kubro adalah warga Pasutan, demikian pula penyelenggaranya adalah Persatuan Pemuda Pasutan (Pendapa). Pada tahun 2007, Reog Kubro menjadi salah satu penerima penghargaan Seni dan Budaya dari Pemerintah Kabupaten Bantul.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya